Misteri 7 Tahun “Lubang Neraka Siberia” di Lingkaran Arktik Rusia

HISTORY – Di sebuah semenanjung terpencil di atas lingkaran Arktik, sebuah lubang besar menganga diyakini para ilmuwan akibat ledakan dari bawah tanah. Lubang itu disebut-sebut sebagai “Lubang Neraka Siberia”.

Di sekitar lubang kawah itu, akar-akar tanaman di bagian tepinya tampak hangus, menunjukkan betapa hebatnya lubang di tengah Arktik Siberia ini tercipta.

Melansir BBC Future, Evgeny Chuvilin seorang ahli geologi di Institut Sains dan Teknologi Skolkovo, Moskwa, Rusia berkunjung ke situs itu tahun lalu.

Lubang itu memiliki kedalaman 164 kaki (50 meter) dan menampung bagian-bagian penting dari teka-teki yang masih menjadi misteri.

Lubang itu diyakini disebabkan oleh gas bawah tanah, sebuah fenomena alam yang memengaruhi wilayah yang memanas dengan cepat itu di tengah musim panas tahun lalu.

Lubang kawah itu disebut kawah 17 karena 16 lubang serupa sudah ditemukan sebelumnya di ujung barat laut Siberia sejak pertama kali diamati pada 2014.

Situs web berita sains Gizmodo menjuluki lubang besar itu sebagai “lubang menuju neraka”.

“Lubang itu membuat suara-suara. Seperti sesuatu yang hidup,” ujar Chuvilin dikutip The Moscow Times.

Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika pernah menyatakan HOAKS untuk sebuah tayangan video YouTube yang mengatakan bahwa “Lubang Neraka” di Siberia adalah benar-benar berasal dari alam neraka.

Melalui keterangan rilis Kominfo, video yang menayangkan suara-suara jeritan memilukan seperti penghuni neraka yang disiksa adalah tidak nyata alias editan dari film horor Baron Blood (1972).

Dua teori terbentuknya “Lubang Neraka Siberia”

Selain sebagai pakar geologi, Chuvilin juga salah satu ahli permafrost terkemuka Rusia yang mengambil bagian dalam ekspedisi dan menceritakan pengalaman ekspedisinya kepada The New York Times (NYT).

Para peneliti percaya bahwa lubang kawah terbentuk ketika tanah beku yang lama dikenal sebagai permafrost mulai mencair dan melepaskan gas metana yang terperangkap.

Metana menciptakan tonjolan di permukaan bumi yang dikenal sebagai pingos, yang akhirnya meledak dan meninggalkan kawah. Metana yang terperangkap “meledak seperti sebotol sampanye,” kata Chuvilin.

Dilansir dari NYT ada dua teori yang mampu menjelaskan mengapa metana bisa menyebabkan ledakan.

Pertama, metana beku di dalam yang kembali ke keadaan gasnya atau lapisan es yang mencair melepaskan endapan metana.

Permafrost yang mencair juga dikaitkan dengan tumpahan bahan bakar solar besar-besaran di dekat kota Norilsk di Arktik pada Mei 2020.

Para pencinta lingkungan menyebutnya sebagai tumpahan terburuk yang pernah terjadi di wilayah tersebut.

Wilayah Arktik dan Siberia Rusia sudah memanas lebih cepat daripada bagian dunia lainnya, menghadapi gelombang panas musim panas yang bersejarah tahun lalu disertai dengan kebakaran hutan, tumpahan bahan bakar, gagal panen, dan masih banyak lagi.

SEJARAH MUMMY

Mumi adalah seseorang atau hewan yang tubuhnya dikeringkan atau diawetkan setelah mati. Ketika orang berpikir tentang mumi, mereka sering membayangkan versi awal era Hollywood NANA4D dari bentuk manusia yang dibalut lapisan demi lapisan perban, lengan terentang saat mereka perlahan bergerak ke depan. Mumi mungkin tidak benar-benar bangkit dari makam kuno dan menyerang, tetapi mumi tersebut cukup nyata dan memiliki sejarah yang menarik.

BACA JUGA : HISTORY – SEJARAH MUNIR, KRONOLOGI DARI TAHUN 2004 HINGGA 2022 TANPA HASIL

Apa itu mumi?

Praktik mengawetkan jenazah sebagai mumi tersebar luas di seluruh dunia dan sepanjang waktu. Banyak peradaban—Inca, Aborigin Australia, Aztec, Afrika, Eropa kuno, dan lain-lain—telah mempraktikkan beberapa jenis mumifikasi selama ribuan tahun untuk menghormati dan mengawetkan jenazah.

Ritual mumifikasi bervariasi berdasarkan budaya, dan diperkirakan beberapa budaya membuat mumi seluruh warganya. Ada pula yang mencadangkan ritus peralihan hanya untuk orang kaya atau orang-orang berstatus tinggi. Karena sebagian besar bakteri tidak dapat berkembang dalam suhu ekstrem, memaparkan mayat di bawah sinar matahari, api, atau suhu beku adalah cara mudah untuk membuat mumi.

Beberapa mumi terjadi secara tidak sengaja. Ambil contoh, Accidental Mummies of Guanajuato , koleksi lebih dari 100 mumi yang ditemukan terkubur di ruang bawah tanah di Meksiko. Mayat-mayat itu tidak dijadikan mumi dengan sengaja. Diperkirakan panas ekstrem atau cadangan geologis yang kaya akan belerang dan mineral lainnya memicu proses mumifikasi.

Beberapa biksu Buddha mempraktikkan mumifikasi diri dengan menghabiskan waktu bertahun-tahun membuat tubuh mereka kelaparan dan hanya mengonsumsi makanan yang memicu pembusukan. Setelah lemak tubuh mereka hilang, mereka menghabiskan beberapa tahun lagi meminum getah beracun hingga menyebabkan muntah untuk menghilangkan cairan tubuh. Racun tersebut juga membuat tubuh menjadi tuan rumah yang buruk di masa depan bagi serangga pemakan mayat.

Ketika waktunya tepat, para biksu dikubur hidup-hidup untuk menunggu kematian dan mumifikasi. Kematian datang dengan cepat, namun mumifikasi diri jarang berhasil.

Mumi Mesir

Tidak peduli bagaimana tubuh dimumikan, tujuan akhirnya adalah pelestarian jaringan kulit sebanyak mungkin—dan para pendeta Mesir kuno dianggap sebagai ahli dalam proses tersebut. Iklim Mesir yang gersang memudahkan proses pengeringan dan pembuatan mumi pada jenazah, namun masyarakat Mesir secara rutin menggunakan proses yang lebih rumit untuk memastikan jenazah dapat selamat menuju alam baka.

Proses mumifikasi bagi bangsawan dan orang kaya sering kali mencakup:

  • mencuci tubuh
  • mengeluarkan semua organ kecuali jantung dan memasukkannya ke dalam toples
  • mengemas tubuh dan organ dalam garam untuk menghilangkan kelembapan
  • membalsem tubuh dengan resin dan minyak esensial seperti mur, cassia, minyak juniper dan minyak cedar
  • membungkus jenazah yang dibalsem dengan beberapa lapis kain linen

Masyarakat Mesir kuno dari semua lapisan masyarakat membuat mumi anggota keluarga yang meninggal, namun prosesnya tidak rumit bagi masyarakat miskin. Menurut Egyptologist Salima Ikram, beberapa mayat hanya diisi dengan minyak juniper untuk melarutkan organ sebelum dikuburkan.

Mumi para firaun ditempatkan di peti mati batu berornamen yang disebut sarkofagus. Mereka kemudian dimakamkan di kuburan rumit yang berisi segala sesuatu yang mereka butuhkan untuk akhirat seperti kendaraan, peralatan, makanan, anggur, parfum, dan barang-barang rumah tangga. Beberapa firaun bahkan dikuburkan bersama hewan peliharaan dan pembantunya.

Mumi sebagai Obat

Menurut abstrak tahun 1927 yang diterbitkan dalam Proceedings of the Royal Society of Medicine , sediaan obat yang terbuat dari bubuk mumi populer antara abad kedua belas dan ketujuh belas. Selama waktu itu, tak terhitung banyaknya mumi yang dibongkar dan dibakar untuk memenuhi permintaan akan “obat mumi”.

Ketertarikan terhadap mumi sebagai obat didasarkan pada dugaan khasiat obat dari aspal, sejenis aspal dari Laut Mati. Mumi diperkirakan dibalsem dengan aspal, namun hal ini jarang terjadi; sebagian besar dibalsem dengan resin.

BACA JUGA : Kerusuhan Mei 1998 Fakta, Data & Analisa : Mengungkap Kerusuhan Mei 1998 Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Mumi Menjadi Arus Utama

Mungkin mumi yang paling terkenal dalam sejarah modern adalah Raja Tutankhamun , umumnya dikenal sebagai Raja Tut. Makam dan tubuh muminya ditemukan pada tahun 1922 oleh arkeolog Inggris Howard Carter . Ini merupakan penemuan yang menggembirakan namun ditakdirkan untuk dibayangi oleh beberapa kematian yang tidak dapat dijelaskan.

Menurut cerita rakyat, mengganggu makam mumi akan menyebabkan kematian. Namun takhayul ini tidak mengguncangkan Carter, atau menghentikannya untuk menggali makam Tut. Namun, ketika beberapa orang yang terlibat dalam ekspedisinya meninggal lebih awal karena sebab-sebab yang tidak wajar, cerita tersebut menjadi sensasional oleh media—meskipun apa yang disebut kutukan menyelamatkan nyawa Carter.

Mumi menjadi lebih dari sekedar simbol keagamaan dunia kuno pada awal abad ke-20 dengan debut novel Bram Stoker, The Jewel of the Seven Stars , yang menampilkan mereka sebagai penjahat supernatural. Namun penggambaran mumi oleh Boris Karloff dalam film The Mummy tahun 1932lah yang menjadikan mumi sebagai monster yang populer.

Film-film selanjutnya seperti The Mummy’s Tomb dan The Mummy’s Curse menggambarkan mumi sebagai makhluk bisu yang diperban dengan kuat seperti yang mereka kenal sekarang. Mumi fiksi tidak dapat merasakan sakit dan, seperti monster horor lainnya, sulit dibunuh. Cara paling efektif untuk membuat mereka mati permanen adalah dengan membakarnya.

Meskipun nyata—dan menyeramkan—mumi tidak memiliki ketenaran yang sama dengan zombie , manusia serigala, dan vampir . Hal ini mungkin berubah ketika Hollywood merilis film mumi baru dengan alur cerita yang mengerikan dan efek khusus yang mengerikan.

TERSEDIA JUGA:

HISTORY – SEJARAH MUNIR, KRONOLOGI DARI TAHUN 2004 HINGGA 2022 TANPA HASIL

Kerusuhan Mei 1998 Fakta, Data & Analisa : Mengungkap Kerusuhan Mei 1998 Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Pengungkapan Kerusuhan Mei 1998 secara tuntas merupakan utang sejarah bangsa Indonesia. Karena pada peristiwa Mei 1998 telah menelan ribuan korban jiwa,menggoncangkan dunia dan mencoreng keberadaan bangsa Indonesia. Kejadian Mei 1998 sudah 15 tahun berlalu.

Berjalannya waktu ternyata tidak membuat orang lupa dengan kejadian yang memakan banyak korban tersebut. Kejadian Mei 1998 ditempatkan pada sebuah titik sejarah hitam bagi perjalanan bangsa Indonesia. Korban berjatuhan dengan jumlah ribuan orang.

Kerugian materi, fisik maupun psikis sama sekali tidak dapat dihindari. Indonesia porak poranda setelah kejadian Mei 1998. Namun, sampai saat ini tidak terungkap siapa dalang dibalik kejadian Mei 1998.

Kenyataan ini membuat banyak orang meluapkan opini mereka tentang Mei 1998 yang sampai saat ini masih dipertanyakan kebenarannya. Ketidak jelasan dalang dibalik kejadian Mei 1998 ini membuat masyarakat terutama keluarga korban masih tidak dapat menerima dan terus menuntut ditegakkannya keadilan bahkan sampai setelah 15 tahun kejadian tersebut berlalu.

Kejadian Mei 1998 terus mengundang pertanyaan dibenak masyarakat. Hal ini membuat masyarakat semakin haus dan liar.

Banyak gelembung-gelembung opini yang akhirnya muncul ke permukaan mengenai MUSEUM TRAGEDI MEI 1998 DI JAKARTA Jessica Julianti dan Rony Gunawan S., ST., MT. Prodi Arsitektur, Universitas Kristen Petra Jl. Siwalankerto 121-131, Surabaya E-mail: jessicajulianti07@gmail.com; rgsunaryo@gmail.com JURNAL eDIMENSI ARSITEKTUR Vol. II, No. 1, (2014) 52-59 53 kejadian Mei 1998.

Apa penyebab yang sebenarnya? Apakah krisis moneter dan kesenjangan sosial? Apakah benar isu rasialisme yang melanda? Ataukah politik terselubung? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu muncul setiap tahun peringatan Mei 1998 disertai dengan membumbungnya opini masyarakat.

Sampai saat ini, masyarakat masih cenderung percaya dengan adanya pembelokan fakta masa lalu bahwa kejadian Mei 1998 terjadi karena isu rasialisme. Terlepas dari semua hal mengenai kejadian Mei 1998, terdapat realita dimana museum saat ini layak menjadi sorotan.

Kurangnya pengembangan museum sebagai wadah pembelajaran sejarah turut menjadi pertimbangan penting dalam penentuan proyek museum.

Museum saat ini mulai ditinggalkan pengunjung karena dianggap kuno dan tidak mampu lagi menarik minat pengunjung sehingga perlu diadakannya perubahan bangunan museum untuk dapat kembali menjadi media pembelajaran yang lebih baik.

Pemilihan proyek museum ini mencoba mengubah museum dari sekedar tempat display benda sejarah menjadi bangunan yang mampu bercerita melalui desain arsitekturalnya.

Adanya semua hal yang melatarbelakangi proyek Museum Tragedi Mei 1998 ditarik dalam sebuah topik dimana museum akan dikemas untuk menceritakan kejadian Mei 1998 sebagai bukti perjuangan menuju Reformasi.

Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain.

Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.

Hal inipun mengakibatkan penurunan jabatan Presiden Soeharto, serta pelantikan B. J. Habibie. Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa—terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa[1].

Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut[2][3]. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia.

Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya.

Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis. Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan “Milik pribumi” atau “Pro-reformasi” karena penyerang hanya fokus ke orang-orang Tionghoa.

Beberapa dari mereka tidak ketahuan, tetapi ada juga yang ketahuan bukan milik pribumi. Sebagian masyarakat mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal yang sistematis atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.

Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, tetapi pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.

Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini.

Namun umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap orang Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat.

History > Sejarah Munculnya Sengketa Batas Wilayah Blok Ambalat

HISTORY – Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang dalam sejarah pernah bersengketa satu sama lain.

Salah satu perselisihan Indonesia dan Malaysia adalah sengketa batas wilayah Blok Ambalat.

Blok Ambalat adalah wilayah laut seluas 15.235 kilometer persegi yang berada di Laut Sulawesi atau Selat Makassar. Blok Ambalat diperkirakan memiliki kandungan minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan hingga puluhan tahun ke depan.

Oleh sebab itu, sengketa Blok Ambalat tidak hanya tentang soal kepemilikan wilayah, melainkan juga karena potensi sumber daya alam besar di perairan tersebut. Lalu, bagaimana sejarah munculnya sengketa batas wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia?

Sejarah

Sejarah terjadinya sengketa wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia bermula ketika Indonesia dan Malaysia masing-masing sedang melakukan penelitian untuk mengetahui landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Di tengah penelitian tersebut, baik Indonesia maupun Malaysia mengalami perbedaan persepsi terhadap posisi Ambalat.

Lebih lanjut, pada 27 Oktober 1969, ditandatangani Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen Indonesia-Malaysia yang disebutkan bahwa Blok Ambalat adalah milik Indonesia.

Sejak saat itu, konflik antara Indonesia dan Malaysia mulai memanas, khususnya pada 1979, ketika Malaysia mengingkari Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen.

Malaysia justru memasukkan blok maritim Ambalat ke dalam peta wilayah mereka.

Hal ini tentu saja menuai penolakan dari pemerintah Indonesia.

Bukan hanya Indonesia, pelanggaran yang dilakukan Malaysia ini juga diprotes oleh negara-negara lain, seperti Inggris, Thailand, China, Filipina, Singapura, dan Vietnam.

Pada 1980, Indonesia pun dengan tegas menyatakan protes terhadap pelanggaran yang telah dilakukan Malaysia.

Penyelesaian

Kemudian pada 2009, Presiden SBY dan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi mengambil solusi politik untuk meredakan masalah sengketa Blok Ambalat.

Melalui pertemuan tersebut, baik pihak Indonesia atau Malaysia saling menjelaskan landasan hukum klaimnya atas Blok Ambalat.

Penjelasan landasan hukum Malaysia terhadap Blok Ambalat pun ditolak oleh Indonesia.

Sebab, Malaysia mengklaim Ambalat dengan menerapkan prosedur penarikan garis pangkal kepulauan dari Pulau Sipadan dan Ligitan yang telah mereka rebut pada 2002 silam.

Akan tetapi, klaim tersebut bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang di mana garis pangkal penentuan wilayahnya ditarik dari wilayah kepulauan terluar.

Sementara itu, Malaysia merupakan negara pantai biasa, sehingga hanya boleh memakai garis pangkal biasa untuk menentukan batas wilayahnya.

Dengan demikian, berdasarkan dari UNCLOS 1982, Ambalat diakui sebagai wilayah Indonesia.

Baca Juga:

Mix Parlay

Mix Parlay

Mix Parlay

Mix Parlay

Mix Parlay

Slot Mahjong

Scatter Hitam

Scatter Hitam

Mengenal Sejarah dan Mengenang Perjuangan Masyarakat Bali di Monumen Bajra Sandhi  

Upaya Indonesia dalam meraih kemerdekaan di masa lampau tidaklah mudah.Penjajahan dan penindasan yang dilakukan oleh pihak Belanda memicu terjadinya gejolak perlawanan dari segenap masyarakat dan kerajaan serta kesultanan di Indonesia.

Menggunakan taktik adu domba, Belanda berhasil mengecoh rakyat Indonesia sehingga terjadilah perpecahan di kerajaan-kerajaan tersebut.

Bali sebagai salah satu wilayah yang memiliki kerajaan pada masa itu turut tampil sebagai daerah yang berjuang untuk mengusir Belanda.

Beberapa pahlawan hadir sebagai pelopor perjuangan, diantaranya adalah I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Ketut Jelantik, dan I Gusti Ketut Pudja, Selain itu tidak sedikit pertempuran di Bali yang terkenal dan memiliki nilai patriotik tinggi, seperti Perang Jagaraga di tahun 1848-1849, Perang Kusamba di tahun 1849, Perlawanan Rakyat Banjar di tahun 1868, Perang Puputan Badung di tahun 1906, Puputan Klungkung di tahun 1908, dan Perang Puputan Margarana di tahun 1946.

Untuk melestarikan sejarah dan sebagai penghargaan atas perjuangan rakyat Bali beserta para pahlawannya yang telah gugur berkorban demi kemerdekaan Indonesia, maka diabadikanlah nama para pejuang dan momentum peristiwa mereka untuk nama jalan, nama lapangan terbang, dan berbagai monumen yang melambangkan nilai patriotisme.

Apresiasi tersebut juga menjadi wadah bagi generasi muda untuk mempelajari dan meneladani wujud rela berkorban, cinta tanah air, dan cinta persatuan dan kesatuan yang dilakukan para tokoh dalam mengemban nama Indonesia hingga meraih kemerdekaan.

Salah satu bentuk penghargaan terbesar yang dibangun oleh masyarakat Bali ini sendiri diwujudkan di daerah Niti Mandala, Denpasar yang dikenal dengan istilah Monumen Perjuangan Rakyat Bali.

Dalam kesempatan yang menarik ini, Tim Humas KPKNL Denpasar menyempatkan diri beranjangsana ke Monumen Bajra Sandhi. Ditemui Bapak Nyoman Subawa selaku Staf UPTD (Unit Pelaksana Tugas Daerah) Bagian Informasi, kami mendapatkan pencerahan dan banyak masukan terkait latar belakang pendirian monumen tersebut.

Berawal dari sayembara yang dicetuskan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, sebagai Gubernur Provinsi Bali pada masa itu. Beliau pada saat penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali di tahun 1981 (agenda rutin setiap tahun di Denpasar) kemudian menggelar sayembara desain Monumen Perjuangan Rakyat Bali.

Pada akhirnya yang menarik dalam perhelatan ini adalah terpilihnya Ida Bagus Gede Yadnya yang berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Udayana. Bulan Agustus 1988 sebagai pemenang. Peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan monument dilaksanakan setelah sekian tahun dilakukan penyempurnaan atas desain yang telah dibuat.

Pembangunan cukup memakan waktu yang lama karena terjadinya hambatan pada anggaran dikarenakan depresiasi ekonomi dan penurunan nilai Rupiah di tahun 1997. Akhirnya pada tahun 2003, Monumen Perjuangan Rakyat Bali selesai dibangun secara keseluruhan, dan pada tanggal 14 Juni 2003, Presiden RI Megawati Soekarno Putri meresmikan Monumen Perjuangan Rakyat Bali bersamaan dengan pembukaan Pesta Kesenian Bali ke-25. Sejak saat itu, monumen yang terletak di pusat Kota Denpasar, menjadi monumen megah yang dapat dikunjungi oleh masyarakat umum.

Banyak falsafah yang menggambarkan alasan pembangunan Monumen Perjuangan Rakyat Bali. Falsafah Lingga-Yoni yang melambangkan simbol kesuburan dan kesejahteraan, dimana pertemuan antara Lingga yang berarti Lambang Purusa (pria) dan Yoni yang berarti Lambang Pradana (wanita).

Bapak Nyoman Subawa menceritakan, monumen ini juga berlatarkan falsafah yang berasal dari Kitab Adi Parwa yaitu kisah Pemutaran Mandara Giri (Gunung Mandara) di Ksirarnama (Lautan Susu). Kisah ini menceritakan bahwa para Dewa dan Raksasa/Daitya mencari Tirta Amertha (air kehidupan abadi) dengan jalan memutari Gunung Mandara. Pemutaran Gunung Mandara yang dilakukan tidaklah mudah.

Para Dewa memegang ekor Naga Besuki yang menjadi perumpamaan tali pengikat dan pemutar gunung, sedangkan para Daitya memegang bagian kepala. Untuk menjaga dasar Gunung Mandara yang dirupakan sebagai Akupa (kura-kura), Dewa Siwa menahan dengan menduduki bagian atas gunung.

Rintangan yang dilalui dalam memutar Gunung Mandara akhirnya membuahkan hasil. Secara berturut-turut keluarlah Ardha Candra (Bulan Sabit), Dewi Sri dan Laksmi, Kuda Uchaisrawah (Kuda Terbang), Kastuba, Mani (Pohon Kebahagiaan), dan yang terakhir keluar Dewi Dhanwantari yang membawa Tirta Amertha.

Secara filosofis, kisah ini merefleksikan pesan bagi generasi muda untuk selalu bekerja keras, ulet, tekun, dan gotong royong dalam meraih keberhasilan.

Monumen Perjuangan Rakyat Bali dibangun di area Niti Mandala Denpasar, tepatnya di Lapangan Puputan Margarana. Bangunan monumen ini berbentuk seperti Bajra (genta) atau lonceng suci (Sandhi) yang digunakan oleh pendeta agama Hindu saat mengucapkan mantra dalam upacara persembahyangan sehingga sering juga dikenal dengan nama Monumen Bajra Sandhi.

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali lebih lanjut menjelaskan bahwa monumen yang menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) ini memiliki 33 (tiga puluh tiga) unit diorama di dalamnya. Diorama tersebut disusun secara berurutan yang menggambarkan keadaan masyarakat Bali sejak Masa Prasejarah, Masa Sejarah, Masa Bali Kuno, Masa Bali Madya, Masa Penjajahan, hingga Masa Perjuangan merebut Kemerdekaan.

Seluruh penggambaran diorama ditampilkan dalam bentuk tiga dimensi dengan dilengkapi berbagai model boneka manusia, binatang, dan pelengkap lainnya.

Tak lupa terdapat informasi tertulis dengan aksara Bali, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris yang berisi penjelasan setiap diorama. Penyuguhan diorama ini bertujuan agar pengunjung Monumen Bajra Sandhi dapat memahami dan mempelajari alam, situasi, dan suasana Bali pada saat itu.

Bapak Nyoman Subawa lebih lanjut bercerita bahwa sejak Abad 8 M masyarakat Bali sudah mulai mengenal agama dan kebudayaan.

Datangnya Mpu Kuturan pada Abad 11 M membawa Bali memahami konsep Khayangan Tiga dan paham Tri Murti yang menyatukan berbagai aliran agama atau sekte-sekte yang ada pada waktu itu.

Mpu Kuturan juga menata kembali konsep kesempurnaan bangunan pemujaan di Bali mulai dari yang paling sederhana. Tahun 1338 M merupakan jaman peralihan dimana Kerajaan Bali, yaitu Dalem Bedahulu muncul dengan dipimpin oleh tokoh bernama Patih Kebo Iwa.

Pada tahapan selanjutnya Kejayaan kerajaan-kerajaan di Bali berlanjut pada abad 17-19M. Tidak sedikit peninggalan pada masa itu dengan kondisi yang masih baik dan terawat , yaitu Taman Kerthagosa di Klungkung, Taman Sukasada di Karangasem, dan Taman Ayun di Mengwi.

Sejak Abad 19 M, kondisi Kerajaan-Kerajaan di Bali mengalami situasi yang kurang baik. Peperangan yang sering terjadi seperti Perang Jagaraga pada 1848-1849 dipimpin oleh Patik Djelantik meskipun berhasil mengusir Belanda, namun rakyat tetap menjadi korban.

Perlawanan rakyat Buleleng saat itu berbuah hasil. Dengan menggunakan siasat supit urang, perang pertama berjalan lancar dan banyak menghasilkan korban dari pihak Belanda karena ketidaktahuan mereka akan strategi yang diluncurkan masyarakat Bali.

Ekspedisi kedua pada 15 April 1849 di bawah pimpinan Jenderal Michiels dan Overste De Brau, pasukan Belanda kembali menyerang wilayah Buleleng dan laskar Patih Djelantik banyak yang gugur pada perang ini. Setelah takluknya Buleleng, Kerajaan Klungkung sudah memperkirakan sasaran Belanda selanjutnya.

Hal tersebut menjadi kenyataan pada tanggal 24 Mei 1849 dimana pihak Belanda menyerang Puri Kusamba dan karena kurangnya persenjataan mengakibatkan Kerajaan Klungkung mundur dari peperangan. Keesokan paginya, pasukan istimewa Kusamba melakukan serangan mendadak dengan sasaran Jenderal Michiels.

Alhasil, paha kiri Jenderal Michiels remuk terkena peluru, dan ia meninggal setelah kakinya diamputasi.

Tanggal 20 September 1906, Kota Denpasar dihujani tembakan Meriam Belanda dari pantai Sanur. Penyerangan ini merupakan bentuk kekesalan Belanda karena menyatakan banyak barang yang hilang dan dicuri oleh penduduk dari sekitar Padang Galak, Sanur.

Padahal rakyat Sanur telah bersedia memberi pertolongan dan menyerahkan muatan kembali ke Kapal Dagang Srikomala. Namun Belanda tetap meminta tebusan dan memanfaatkan kondisi tersebut untuk isu peperangan menyerang kerajaan Badung yang akhirnya dikenal sebagai Puputan Badung.

Masuknya pasukan Jepang ke Bali pada tahun 1942 awalnya dianggap sebagai penolong untuk mengusir penjajah Belanda.

Akan tetapi pada akhirnya hal tersebut menjadi mimpi buruk baru bagi masyarakat Bali dan seluruh Indonesia. Pencanangan kerja paksa (Romusha) khususnya dalam rangka mendukung Jepang dalam Perang Dunia II telah menyiksa masyarakat banyak.

Era Kemerdekaan tidak lama bergaung, sayangnya berita kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta tidak langsung terdengar di Bali. Oleh karena itu pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. I Gusti Ketut Pudja yang diberi mandat untuk menjadi Gubernur Sunda Kecil berangkat menggunakan jalur darat menuju Bali untuk menyampaikan berita tersebut.

Upacara bendera dan penggantian seluruh bendera Jepang menjadi bendera Indonesia yang menempel di kantor-kantor kerajaan pada akhirnya berhasil dilaksanakan oleh pejuang Bali.

Pada 5 Juli 1946, pertempuran Tanah Aron melawan Belanda terjadi dengan dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Tidak ada korban satupun dari laskar I Gusti Ngurah Rai yang gugur dalam pertempuran itu. Pada tanggal 20 Nopember 1946 terjadi pertempuran sengit kembali melawan Belanda yang dikenal dengan sebutan Puputan Margarana.

Pada pertempuran tersebut, Letkol I Gusti Ngurah Rai sebagai komandan Pasukan Ciung Wanara gugur bersama pasukannya.

Pada akhirnya setelah masa perang kemerdekaan berakhir, rakyat Bali mulai bangkit dan ikut berperan mengisi pembangunan di segala sektor. Pembangunan tersebut dilakukan berlandaskan kebudayaan asli masyarakat dan dilakukan pada berbagai bidang, seperti Pariwisata, Pertanian, dan Pendidikan, sehingga ciri khas Bali dengan warisan budayanya yang kental tetap dikenal di seluruh dunia.

“Orang Batak Makan Orang” Mitos Atau Fakta ?*

Mengelilingi Danau Toba di Sumatera Utara agaknya tidak cukup satu-dua hari saja. Eloknya berhari hari hingga berbulan menyisir pulau sebuah Anugerah Tuhan. Panca indra ini tidak akan pernah puas dan lelah menikmati keindahan alam tiada duanya, kesejukan udara disela sela liukan pendakian-penurunan Bukit Barisan yang aduhai. Tak kalah menariknya keunikan budaya serta kemisteriusan sejarah Suku Batak yang melegenda itu.

Momen Hari Pers Nasional- HPN ke 23 tahun 2023 telah mengantarkan penulis mengunjungi Danau Toba selama dua hari yang cukup menakjubkan.

Adalah Serikat Media Siber Indonesia- SMSI yang merupakan salah satu konstituen Keluarga Besar Pers Indonesia mengagendakan
Ekspedisi Geopark Kaldera Toba, sebagai ajang pemanasan menjelang acara puncak tanggal 9 Februari yang dihadiri Presiden Joko Widodo.

Srikandi Ketua SMSI Sumut Erris Julietta Napitupulu adalah sosok yang sangat berjasa dan pantas diapresiasi yang telah membawa rombongan Pengurus SMSI se Indonesia mengelilingi Danau Toba yang berada di wilayah 7 kabupaten itu. Ketum SMSI Pusat Firdaus dengan Sekjen M. Natsir selalu memuji kegesitan Ketua SMSI Sumut dalam mengarange ekspedisi geopark Kaldera Toba. Fantastis

Susunan acara yang begitu padat, namun menyenangkan, Rombongan Ekspedisi memulai perjalanannya dari Kabupaten Tapanuli Utara dengan ibukota Tarutung, Sabtu, 4 Februari 2023. Disini rombongan disambut Bupati Taput Drs.Nikson Nababan, MSi yang akan mengakhiri pengabdian periode ke duanya tahun 2024 mendatang.

Sejenak tinggalkan dulu soal keindahan alam Danau Toba dan keunikan budaya Batak. Yang ingin diungkap sesi tulisan ini adalah apakah benar “Orang Batak Makan Orang”. Mitos atau fakta. Inilah ceritanya.

Asal muasal cerita tersebut adalah berasal dari sebuah pulau bernama Samosir. Huta Siallagan atau Kampung Siallagan. Disini asal cerita bermula.

Siallagan sendiri diambil dari nama Raja Laga Siallagan yang dahulu kala membangun perkampungan tersebut. Ia merupakan garis keturunan suku Batak asli. Kampung tersebut berlokasi di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, tak jauh dari area Danau Toba.
Huta Siallagan sendiri tampak seperti sebuah benteng dengan tembok batu yang mengelilingi area seluas kurang lebih 2.400 meter persegi dan berfungsi untuk melindungi kampung tersebut.

Di hari ketiga, Senin 6 Februari 2023, rombongan Ekpedisi Geopark Kaldera Toba, sampai juga di kampung yang menyimpan banyak cerita dan juga mitos.

Adalah keturunan raja ke-17 Siallagan, Gading Jansen Siallagan, yang menjadi nara sumber tunggal dari cerita tersebut. GJ Siallagan mengaku baru 10 tahun menetap di kampung, sebelumnya merantau ke Bandung. Namun karena kakaknya meninggal maka Ia dipanggil pulang untuk melanjutkan waris sebagai keturunan Raja.

Opung, begitu panggilannya selain memangku jabatan Raja sekaligus bertindak sebagai pemandu yang sangat menguasai ceritanya. Ia sesekali menyelingi dengan kata kata yang memancing ketawa para tamu. Tujuannya agar pengunjung rilek dan santai. Tak perlu serius dengan apa yang Ia ungkapkan.

Opung, GJ Siallagan,tetua kampung setempat adalah berpenampilan sederhana, postur sedang dengan gigi masih utuh, terus bercerita. Sebelumnya rombongan disambut tarian adat setempat. Lalu duduk di panggung yang sudah tersedia, sedang keturunan Raja berdiri dihalaman dengan memegang mick pengeras suara.
Agaknya dari Kampung Sialagan ini pula titik awal sejarah peradaban penegakan hukum di Samosir ini. Barangkali dari Samosir ini pula terinspirasi banyak orang Batak menjadi penegak hukum di Indonesia dari dulu hingga sekarang

Alkisah, Gading Jansen Siallagan menjelaskan bahwa di kampung tersebut terdapat area yang disebut dengan “batu persidangan”. Disinilah sang raja mengadili para pelanggar hukum adat. Batu persidangan ini berbentuk sebuah meja dengan kursi yang tersusun melingkar.

“Jadi kalau Raja Siallagan bersidang memberikan hukuman kepada setiap penjahat, di sanalah dia disidang,” kata Gading sambil menunjuk lokasi.
Dengan fasih Gading menjelaskan prosesi persidangan Raja- Raja dahulu yang berlangsung di batu persidangan itu. Tempat di sebelah kanan raja ialah adik-adik raja, sementara di sebelah kirinya adalah para penasihat yang terdiri atas 2 penasihat terdakwa, 2 penasihat korban, dan 1 penasihat kerajaan.

“Kenapa mereka perlu penasihat kerajaan? Apabila tidak ada komitmen (kesepakatan) antara empat penasihat, maka keputusan ada di tangan penasihat kerajaan. Kalau bahasa sekarang itulah yang disebut pengacara,” kata Gading.

“Jadi jangan heran, kalau orang Batak banyak jadi pengacara. Mereka itu lulusan Siallagan semua,” kata Gading sedikit melawak, diikuti tawa Ketum SMSI Firdaus dan rombongan lainnya.

Lebih jauh GJ Sialagan, bahwa dalam hukum Raja Siallagan saat itu, setidaknya terdapat tiga jenis persidangan. Ketiganya ialah persidangan untuk tindak pidana ringan, tindak pidana umum, dan tindak pidana serius (berat).
“Kami sebut tindak pidana ringan, yaitu mencuri. Raja masih memaafkannya, raja membebaskannya, asal dia bisa bayar empat kali apa yang dia curi. Kalau dia curi satu kerbau, dia harus bayar empat kerbau, maka boleh bebas,” kata Gading.

Dalam persidangan, raja dan para penasihat akan mencari hari baik untuk mengeksekusi pelaku tindak pidana berdasarkan kalender Batak. Jika waktu eksekusi telah diputuskan, maka hukuman akan diberikan.
“Seorang dukun akan diperintahkan oleh raja kapan orang ini akan dipancung. Orang Batak punya (semacam) feng shui. Kalau orang Jawa bilang itu primbon, orang Batak bilang maniti ari,” kata Gading.

Mengutip artikel yang ditulis Renti Rosmalis yg ditemukan di goegle bahwa cerita itu sepertinya bukan mitos.

Konon, pada zaman Raja Siallagan masih memeluk kepercayaannya, raja menerapkan hukuman yang sangat keji untuk mengadili penjahat atau pelanggar adat setempat, seperti pencuri, pembunuh, pemerkosa, atau lawan perang.

Untuk menentukan hukuman, Raja Siallagan beserta permaisuri dan tetua adat mengadakan rapat di tengah perkampungan.Letaknya berada di bawah pohon suci Hariara. Di situ terdapat kursi-kursi yang terbuat dari batu dan melingkari meja batu. Tempat itulah yang kini dinamai Batu Parsidangan.

Rapat tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menentukan hukuman apa yang tepat untuk terdakwa. Menggunakan kalender adat Batak, Raja Siallagan bersama tetua adat menentukan waktu rapat dan juga waktu untuk mengadili terdakwa.

Apabila terbukti melanggar dan terdakwa tersebut harus dihukum pancung, maka terdakwa dibawa ke rangkaian Batu Parsidangan kedua.

Tempat itu ada di belakang rangkaian pertama. Rangkaian batu pertama dan kedua tidak begitu jauh danbtidak berbeda. Bedanya,terdapat batu panjang cekung tempat untuk memancung terdakwa.

Tata cara hukuman pancungnya pun tidak asal tebas lalu selesai. Tapi, masih harus melewati berbagai macam proses.

Keturunan ke 17 Raja Siallagan ini mengatakan pertama-tama, terdakwa ditutup matanya dan tangannya diikat menggunakan kain ulos. Kemudian terdakwa direbahkan pada sebuah batu datar yang cukup tinggi. Selanjutnya, tubuhnya akan disayat-sayat untuk menguji ilmu kebal yang dimilikinya.

Apabila tidak berdarah, maka raja akan mengambil kekuatan terdakwa dengan tongkat sakti. Lalu akan disayat-sayat lagi tubuh terdakwa itu. Apabila masih kebal maka prosesi tersebut akan dilakukan berkali-kali hingga kekebalannya menghilang.

Prosesi selanjutnya adalah terdakwa dibawa ke batu cekung dengan asumsi bahwa ilmu kekebalan yang dimilikinya telah sepenuhnya hilang. Dalam posisi siap untuk dipancung, hadir algojo yang harus memancungnya hanya dengan sekali tebas. Algojo tersebut akan berteriak “Horas! Horas! Horas!” Lalu ia menebaskan pedangnya ke leher terdakwa hingga kepalanya terlepas dari badannya. Masih ada prosesi selanjutnya, yaitu di belahnya badan terdakwa! Pada proses pemancungan, rupanya telah disediakan cawan di bawah leher terdakwa untuk menampung darah segar yang mengucur dari lehernya. Setelah dirasa cukup, tubuh tanpa kepala terdakwa tersebut lalu akan direbahkan lagi di batu datar tempat pertama ia disayat-sayat. Setelah direbahkan, algojo kemudian akan membelah tubuh tanpa kepala itu secara vertikal.

Diambilnya jantung dan hati, serta dagingnya, kemudian dipotong-potong kecil dan dimasukkan ke dalam cawan yang berisi penuh darah terdakwa.

Konon menurut cerita, cawan yang berisi darah segar, potongan daging, hati dan jantung itu akan diberikan kepada seluruh orang yang menonton pengadilan berdarah itu untuk dimakan.

Menurut kepercayaan yang ada saat itu, apabila orang memakan daging, hati, jantung, dan darah terdakwa yang dipercaya memiliki ilmu tinggi konon orang yang memakannya akan mendapatkan ilmu yang lebih tinggi.

Setelahnya, bagian tubuh yang tersisa akan dibuang ke Danau Toba dan kepalanya dibuang ke dalam hutan yang jauh. Istilah orang Batak makan orang bisa jadi muncul karena sejarah Batu Parsidangan tersebut.? Entalah.

Namun Gading Jansen Siallagan saat menyambut rombongan ekspedisi SMSI tidak tegas menyatakan ‘Orang Batak Makan Orang”. Hanya saja, sebut Gading, selesai eksekusi, Raja hanya menawarkan kepada yang hadir..Siapa yang mau memakan daging orang ini?. Tapi tak satupun yang berani. Mana ada orang batak makan orang, sebut GJ Siallagan.
Mitos atau fakta, tapi yang jelas perkampungan Siallagan di Samosir saat ini menjadi objek wisata handalan Sumut dari sudut sejarah. Semua peninggalan terpelihara dengan baik, cerita dan legenda terjaga secara turun temurun. Ada sekitar 8 rumah dalam kawasan itu yang kini telah disatukan dengan los tempat penjualan souvenir.

Masyarakat Batak terkenal dengan kepribadi terbuka (extrovet). Tidak suka plin plan. Kalau berjanji ditepati. Bila berhutang harus dibayar. Bagaimana bila terjadi pengingkaran. Maka saat itulah muncul emosi… “Kubunuh dan ku makan Kau”.( berbagai sumber/goegle)

Saling bunuh, saling bakar sampai… ’sayang kamu semua’: Mantan tentara anak Islam dan Kristen Ambon

 

Keterangan gambar,Ronald Regang (kiri) dan Iskandar Slameth di Ambon. Ratusan anak Islam dan Kristen diperkirakan terlibat dalam konflik paling berdarah Indonesia – Ambon- yang pecah pada 1999, terseret dalam arus kesadisan dan kebengisan perang.

Membunuh dengan berbagai senjata, parang sampai senjata api rakitan, membakar, mengebom, “tanpa rasa (bersalah) apa-apa” sebagai “mesin pembunuh”, merupakan bagian hidup sehari-hari sebagian anak-anak berusia antara sembilan sampai belasan tahun saat itu, selama bertahun-tahun.

Kebencian membara atas nama agama – Islam, Kristen- membuat hidup mereka terkepung di lokasi konflik, dengan hanya satu tujuan “membunuh sebanyak-banyaknya lawan iman.”

Pusaran konflik yang begitu dalam membawa mereka hanya pada dua pilihan: Dibunuh atau membunuh.

Dua di antara mereka, Ronald Regang dan Iskandar Slameth, menceritakan perjalanan mereka, berada di ‘garis depan’ saat konflik dan perjuangan berat menepis bara kebencian dan trauma mengingat orang-orang yang mereka bunuh dan kawan yang telah meninggal.

Keduanya pernah membunuh dengan alasan membela agama dan komunitas masing-masing.

Keduanya pernah disulut kebencian luar biasa satu sama lain, sampai kemudian bertemu di satu ruangan, beberapa tahun setelah konflik mereda, dan menjadi sahabat.

Ronald Regang: “Seandainya waktu bisa diputar”

Ronald Regang
Keterangan gambar,Ronald: Seandainya waktu diputar, kita tak akan saling membunuh kalau bisa berkomunikasi.

“Seandainya saya bisa mengembalikan mereka punya nyawa… orang yang pernah saya bunuh… kawan-kawan yang meninggal, seandainya waktu bisa diputar kembali,” kata Ronald satu malam di Ambon.

Ia tak berusaha menahan air matanya. Ia hanya mengusapnya.

“Kepala saya sakit,” katanya beberapa kali menunjuk kepala bagian belakang saat bercerita tentang aksinya berada di garis depan dalam kerusuhan berdarah itu.

“Yang paling membuat saya trauma itu… orang-orang yang pernah saya bunuh, wajah-wajah mereka itu ada dalam tidur dan mimpi saya… Wajah mereka begitu kental dalam ingatan saya,” katanya merunduk.

Pada awal tahun 2000, usianya baru menginjak 10 tahun. Namun ia telah dihadapkan dalam “kondisi membunuh atau dibunuh untuk bisa bertahan hidup.”

Ronald dan Iskandar
Keterangan gambar,Kami seperti saudara sekarang, kata mereka berdua.

Ronald tiba di pelabuhan di Teluk Ambon di akhir 1999, hampir satu tahun setelah konflik pecah pada 19 Januari 1999.

Saat itu konflik telah menyebar ke Ternate, tempat tinggalnya bersama orang tua serta kakak dan adik. Mereka sempat terpisah saat ibu dan adiknya mengungsi ke Manado terlebih dahulu dan kemudian ke Ambon. Ronald menyusul belakangan.

Kapal minyak yang tiba di pelabuhan khusus Kristen saat itu, langsung dirazia untuk “mencari orang Muslim.”

“Yang paling saya ingat, tak ada orang di sepanjang jalan yang ada hanya kita, pasukan khusus, isi di dalam rumah-rumah dikeluarkan di jalan-jalan dibakar,” cerita Ronald mengingat kejadian hampir 20 tahun lalu itu.

“Mayat-mayat ditumpuk… di kiri kanan, semuanya mayat. Sepanjang jalan bau amis, ada yang dibakar, ada yang membengkak, sepanjang jalan,” tambahnya.

Seorang sepupu mengenalinya di pelabuhan dan langsung mengajaknya untuk bergabung bersama anak-anak lain yang malam itu “tengah mewarnai wajah mereka”

“Saya tak bisa kemana-mana lagi dan masuk ke medan pertempuran!”

Iskandar Slameth: “Mengungsi dibantu pela (saudara) Kristen”

Idul Fitri, 19 Januari 1999. Seorang pemuka masyarakat di salah satu permukiman Muslim Ambon, dipanah hingga tewas.

Kepanikan terjadi di tengah perayaan lebaran saat itu.

“Siapkan senjata apa adanya, kita harus mempertahankan diri,” cerita Iskandar mengulang perintah ayahnya saat itu kepada anak-anak lakinya. Iskandar berusia 13 tahun.

Iskandar Slameth.
Keterangan gambar,Iskandar mengungsi bersama keluarga ke Hitu, lima bulan setelah konflik pecah di Ambon pada Januari 1999.

Merasa tak aman di ibu kota Maluku itu, ayah Iskandar memutuskan untuk kembali ke kampung, Hitu, yang terhitung menjadi basis bagi komunitas Muslim.

Namun perjalanan dengan mobil selama sekitar satu jam ini penuh risiko karena harus melewati “kurang lebih 60% sampai 70% daerah orang Kristen,” cerita Iskandar. Tak ada polisi atau militer yang mau mendampingi mereka.

Jalan-jalan dirintangi palang, menandai pemisahan wilayah Kristen dan Muslim.

“Saat melewati kawasan Kristen, pela mama di depan dan mereka bilang ini saudara saya… saat melewati wilayah Muslim, pela mama berada di belakang,” tambahnya mengacu pada Pela Gandong, ikatan tali persaudaraan yang dibuat dengan satu upacara dengan mereka yang sebenarnya tidak memiliki pertalian darah.

“Berkat dia (pela Kristen) kita bisa sampai ke kampung.”

“Saudara-saudara menyambut dengan Allahuakbar, karena mereka mengira kami sudah meninggal di Ambon,” tambahnya.

Membunuh atau dibunuh

Namun beberapa bulan di kampung, Iskandar kembali ke Ambon – tersulut emosi- setelah mendengar kakaknya terkena bom dan “hancur kakinya”.

Di sinilah, ia pertama kali membunuh, setelah ada orang yang menembaknya namun meleset.

“Saya membunuh atau dibunuh… ada abang teriak… lihat di belakangmu ada musuh. Parang masih di tangan… Saya emosi luar biasa karena ditembak. Sakit biar tak tembus tapi sakit. Dia mau potong saya, saya potong,” cerita Iskandar.

Iskandar Slameth.
Keterangan gambar,Iskandar di puing-puing rumah penduduk yang dibakar salah satu kelompok dalam pasukannya.

Badannya penuh darah orang yang ditusuknya. Kejadian ini sempat membuatnya trauma.

“Saya mandi hingga bersih, salat sunah menenangkan diri… Kebayang terus, waktu dia berdarah…”

Perasaan saya seperti apa ya… tapi itu pilihan, saya membunuh atau saya dibunuh,” katanya menahan emosi.

Ronald dan Iskandar
Keterangan gambar,Keduanya banyak terlibat dalam kegiatan lintas agama.

Perjalanan selanjutnya selalu dengan bom dan senjata.

“Darah saya mendidih… Saya dididik dengar bom dan senjata tiap hari. Saya juga sudah bunuh orang,” tambahnya.

“Kita cukup sadis, (ada wilayah) yang kita bantai dalam satu hari.”

Ia tergabung dalam Pasukan Jihad, sebutan untuk pasukan Muslim di Ambon. Saat konflik itu, katanya, terdapat dua kelompok lain, Laskar Jihad- yang datang dari luar Maluku- serta Mujahidin, kelompok dari luar Indonesia yang menempa ideologi mereka yang bertempur.

Saling menaruh dendam berat

“Selama perang terjadi, ada yang bersikap tenang, ada yang sangat emosional dan ingin membunuh…. Saya sendiri masuk dengan dendam, yang cukup kuat. Karena bukan kakak kandung saya saja yang kena bom. Saudara sepupu ditembak mati di tempat, sepupu dari ibu dipotong juga. Kalau bicara dendam, saudara saya banyak yang mati,” kata Iskandar lagi.

tentara di Ambon.
Keterangan gambar,Tentara berjaga-jaga pada 1 Mei 2004 di daerah Waringin, Ambon. Suasana saat itu masih panas.

Akhir dari Podcast

 

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Ronald memiliki sikap serupa. Tak lama setelah terlibat langsung di konflik, ia menjadi komandan Pasukan Agas, sebutan untuk tentara anak Kristen, memimpin lebih dari 20 anak-anak yang jadi milisi.

“Saat pertama kali membunuh, tak ada rasa apa-apa, karena saat itu dalam pikiran saya dan keluarga saya di kampung sudah dibantai dan saya ingin balas. Dan dalam diri saya, saat masuk perang dan membunuh orang tak ada rasa apa-apa,” cerita Ronald.

“Sebelum masuk ke medan pertempuran, kita selalu melakukan doa. Karena anggapan kita saat itu adalah ini adalah perang suci, kita membela agama dan membela tempat tinggal kita,” kata Ronald.

“Kita selalu awali dengan doa dan itu di gereja. Semua kumpul di gereja: kita membagi kawan-kawan, ada tim pembakar, tim pembom, tim penembak dan tim pemotong kita bagi-bagi untuk masuk (berbagai) daerah.”

Sekitar 5.000 orang meninggal dan lebih setengah juta mengungsi dalam konflik sektarian dengan pusat di Ambon dan menyebar ke sebagian besar kepulauan Maluku.

Ronald Regang
Keterangan gambar,Inilah salah satu lokasi pembunuhan, cerita Ronald.

Saat konflik mulai mereda, sejak perjanjian Malino yang dicapai pada 2002, para mantan tentara anak Ambon ini masih terkungkung bara dendam, dihantui orang-orang yang mereka bunuh, terbelut dalam trauma dan guncangan jiwa mendalam, menurut pendeta serta ustad pendamping mereka.

Ronald mengatakan ia baru berhenti memanggul senjata pada 2004, tahun saat ia didatangi Jacky Manuputty, pendeta yang diminta mencari anak-anak korban konflik di Indonesia oleh badan kanak-kanak PBB UNICEF untuk dipertemukan di Yogyakarta.

Bakar kebencian

Perjalanan ke luar Maluku ini mengawali perubahan Ronald.

“Ronald kecil saat itu melihat ada dunia lain, ada gedung-gedung tinggi,” katanya tersenyum dengan mata berbinar.

“Dari situ saya mulai berubah, saya bertemu dengan beberapa orang, termasuk psikolog dari Jakarta. Sebelumnya, kalau keluar dari Maluku, hanya sebatas Manado dan itupun saat mengungsi.”

Laskar Jihad di Ternate
Keterangan gambar,Laskar Jihad di sudut Ternate pada 22 Februari 2000.

Ia mulai mengikuti berbagai kegiatan melalui Lembaga Antar Iman, yang dibentuk pendeta Jacky dan ustad Abidin Wakano.

Sementara Iskandar mengatakan ia terjebak dalam dunia gelap lainnya, narkoba.

“Perjalanan kita hanya di daerah Muslim, stres… tak bebas. Kita jalan situ lagi-situ lagi. Bisa ke sebelah, tapi ada rasa takut, saya dibunuh nggak?

“Onal hanya bilang kita paling sayang kamu semua”

Keengganan dan rasa takut untuk bertemu dengan warga Kristen membuat Iskandar terlambat untuk hadir ke salah satu acara perdamaian, Young Ambassador for Peace, pada 2006.

“Saat tahu mereka dari jihad mini, kami sudah hampir bunuh-bunuhan,” kata Ronald mengacu pada kelompok Iskandar.

“Kami kumpul dengan teman Muslim dan menyusun strategi kalau terjadi apa-apa,” pungkas Iskandar dalam wawancara terpisah.

Selama lebih satu minggu mereka berada di penginapan dan baru pada hari ketiga kondisi mulai cair, pungkasnya.

“Kita tulis rasa benci, rasa dendam (di atas kertas)… Saya tulis saya paling benci sama Kristen, karena kakak saya hancur kakinya, sepupu saya mati. Lalu saya bakar semua (tulisan itu),” cerita Iskandar penuh emosi.

Ronald mengungkap kebencian yang sama. “Saya katakan kalau orang Muslim itu jahat, membunuh kita punya orang.”

Ronald dan Iskandar
Keterangan gambar,Ronald dan Iskandar: Kalau ada apa-apa dengan Is, saya yang maju demikian juga sebaliknya.

“Padahal kawan Muslim juga menceritakan hal yang sama. Kita bercerita isu orang Kristen kaya gini…. Lo kok isunya sama… kita sama-sama tak ada yang tahu.”

Pertemuan ini menjadi titik balik berikutnya bagi kedua putra Maluku ini.

“Onal (Ronald) yang membuat kita semua benar-benar nangis…. Suasana hening, ada lilin,” cerita Iskandar.

“Onal tak banyak bicara… Onal hanya bisa bangkit dan bilang… Dia bilang kita paling sayang kamu semua,” tambahnya.

“Lebur sudah… nangis semua. Kita semua basudara (bersaudara),” kata Iskandar lagi. Lengannya merangkul mengingat pertemuan mereka sekitar 12 tahun lalu.

“Semua peluk erat, mulai hari ini sampai di mana pun kita saudara. Kamu mau pergi ke mana, bilang, beta akan di depan kamu,” kenangnya.

“Saya merasa plong”

“Kita selama ini berperang, tapi kita tak tahu perang ini akan ke mana. Selama ini kita hanya melihat orang dengan mata sebelah. Kalau dengan mata dua atau ada dengan komunikasi, pasti tak ada kerusuhan atau kita tak saling bunuh,” kata Ronald lagi.

Sejak pertemuan itu mereka saling mengundang untuk bertandang ke daerah masing-masing.

“Pas saya menginjakkan kaki di daerah Kristen, saya merasa plong. Ini namanya bebas. Balik ke rumah dalam keadaan baik-baik,” kata Iskandar.

“Kita berkomitmen untuk jadi duta damai diri sendiri dan orang-orang di samping kita.”

“Kita keluar dari situ dengan penuh kesenangan. Satu kampung Kristen misalnya… yang dulu habis dalam satu hari… Mereka punya dendam terhadap saya… Namun saya ke sana pergi makan ikan bakar ramai-ramai.”

“Sesudah itu, kita melangkah: ada saudara di sini, di sana. Tak punya rasa takut lagi…Tak ada lagi, lepas…,” kata Iskandar.

(Kisah Ronald Regang yang ditulis Jacky Manuputty termasuk salah satu cerita dalam buku ‘Keluar Dari Ekstremisme, Delapan Kisah Hijrah dari Kekerasan Menuju Binadamai yang diluncurkan pada 27 Februari 2018. Saat ini Jacky adalah asisten Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antariman dan Antarperadaban.)

Asal Usul Cerita Si Manis Jembatan Ancol 1973

Sabtu 04 Mei 2024 10:13 WIB

JAKARTA- Asal usul cerita Si Manis Jembatan Ancol 1973 menjadi urban legend masyarakat Kota Jakarta. Menurut penuturan orang sekitar, Si Manis Jembatan Ancol adalah hantu sosok wanita berpakaian merah dengan rambut panjang.
Link Resmi : Mega4D

Si Manis Jembatan Ancol kerap menampakkan dirinya pada malam hari di sekitar Jembatan Ancol. Ia akan mendekati yang melintasi jembatan dan menggodanya. Target hantu Si Manis Jembatan Ancol kebanyakan adalah pria.

Asal usul cerita Si Manis Jembatan Ancol 1973 terdapat dalam buku Legenda Si Manis Jembatan Ancol tahun 2012 karta Syahbudin. Dalam buku tersebut, dikisahkan Si Manis Jembatan Ancol bernama Siti Ariah.

Beberapa versi menyebutnya dengan nama Maryam. Ia tinggal bersama ibu dan adiknya.Pada masa itu, Maryam adalah sosok gadis desa yang terkenal dengan parasnya yang cantik. Kecantikannya mampu menarik hati siapapun yang memandangnya.

 Salah satunya adalah pria kaya bernama Oey Tambahsia. Oey ingin menikahi Maryam dan menjadikan Maryam sebagai simpanannya. Mengetahui hal itu, Maryam menolak dan berusaha kabur dari pria itu.

Kemudian Oey menyuruh centengnya untuk menangkap Maryam. Ketika tertangkap, Maryam berusaha untuk melepaskan diri dengan memberi perlawanan. Namun naas, ia mati ditangan ceneng Oey Tambahsia.

Mereka lalu membuang mayat Maryam dari atas Jembatan Ancol setinggi 400 meter. Beberapa versi mengatakan bahwa Maryam meninggal karena diperkosal. Sementara, versi lainnya mengatakan bahwa meninggalnya Maryam bukan karena pemerkosaan.

Sejak saat itu, Maryam menjelma menjadi hantu Si Manis Jembatan Ancol. Ia kerap berkeliaran untuk memberitahu ibunya sebab ia meninggal. Banyak orang melihatnya berkeliatan di Jembatan Ancol mengenakan gaun merah.

Kisah Si Manis Jembatan Ancol sampai diangkat menjadi sebuah film horor pada tahun 1973. Film Si Manis Jembatan Ancol 1973 diperankan oleh Lenny Marlina. Tahun 1993, film ini kembali rilis dan diperankan oleh Diah Permatasari.

Legenda Si Manis Jembatan Ancol kembali diangkat pada tahun 2019. Pemeran film Si Manis Jembatan Ancol kali ini adalah Indah Permatasari. Film yang disutradarai Anggy Umbara ini mendapat sambutan baik.

Demikian asal usul cerita Si Manis Jembatan Ancol 1973.

HISTORY >>> KONFLIK SAMPIT

Konflik Sampit
Bagian dari Indonesia dalam tahun 2001
Ngayau (pemotongan kepala) yang terjadi di Sampit pada Februari 2001.
Tanggal 18 Februari – Maret 2001
Lokasi Kalimantan,Kalimantan Tengah,Sampit, Palangka Raya, Kuala Pembuang, Kalimantan Timur, Samarinda, Kalimantan Barat, Sambas, Pontianak, Kalimantan Selatan, Banjarmasin
Pihak terlibat
Suku Dayak Suku Madura
Kekuatan
32,000 di kota Sampit

1,500.000 di seluruh Kalimantan Tengah

90,000 di kota Sampit.
Korban
188 terbunuh 1000 terbunuh & 100,000 mengungsi

 

Konflik Sampit atau Perang Sampit atau Tragedi Sampit adalah sebuah peristiwa Kerusuhan antar-etnis yang terjadi di pulau Kalimantan pada tahun 2001.

Bermula sejak 18 Februari 2001, Konflik ini berlangsung sepanjang tahun tersebut. Konflik ini pecah di kota Sampit, Kalimantan Tengah sebelum pada akhirnya meluas ke seluruh provinsi di Kalimantan, termasuk ibu kota Palangka Raya.

Konflik ini melibatkan dua buah etnis antara suku Dayak asli dan warga Imigran Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak.

Konflik ini mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal di Kalimantan. Dari laporan data, tidak sedikit warga Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh masyarakat Dayak dalam konflik ini.

Latar belakang

Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura.

Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas.

Penduduk Madura pertama kali tiba di Kalimantan pada era 1930-an di bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia.

Pada tahun 2000, transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan.[

Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak.

Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura. K.M.A.

Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan diri setelah beberapa anggota mereka diserang.

Selain itu, juga dikatakan bahwa seorang warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah sengketa judi di desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000.

Versi lain mengklaim bahwa konflik ini berawal dari percekcokan antara murid dari berbagai ras di sekolah yang sama.

Pemenggalan Kepala

Sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak selama konflik ini. Suku Dayak memiliki sejarah praktik ritual pemburuan kepala (Ngayau), meski praktik ini dianggap musnah pada awal abad ke-20.

Dampak Skala pembantaian membuat militer dan polisi sulit mengontrol situasi di Kalimantan Tengah. Pasukan bantuan dikirim untuk membantu pasukan yang sudah ditempatkan di provinsi ini. Pada 18 Februari, suku Dayak berhasil menguasai Sampit.

Polisi menahan seorang pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu otak pelaku di belakang serangan ini. Orang yang ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk memprovokasi kerusuhan di Sampit. Polisi juga menahan sejumlah perusuh setelah pembantaian pertama. Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya sambil meminta pelepasan para tahanan. Polisi memenuhi permintaan ini dan pada 28 Februari, militer berhasil membubarkan massa Dayak dari jalanan, namun kerusuhan sporadis terus berlanjut sepanjang tahun.

Catatn Kaki

    1. Pertempuran meluas dengan cepat selama bulan Februari hingga Mei dan terus berlangsung sepanjang tahun tersebut. Hampir seluruh wilayah di Pulau Kalimantan terlibat dalam kerusuhan ini, kecuali Pangkalan Bun. Hal itu dikarenakan hampir tidak ada orang Madura disana. Tidak ada data pasti untuk daerah lain